Indonesia masih masuk dalam 10 negara dengan beban Tuberkulosis (TB) terbanyak di dunia.
Total kasus baru TB dilaporkan sebanyak 450 ribu per tahun dan prevalensi sekitar 690 ribu per tahun, seperti dilaporkan oleh Organisasi PBB untuk Kesehatan Dunia (WHO) dalam "Global Report 2011".
"Sejak tahun 2010 WHO tidak lagi menyebutkan ranking negara, tetapi Indonesia memang masih termasuk 10 besar negara TB dengan beban permasalahan TB terbesar dari total 22 negara dengan beban TB terbesar," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Sejak tahun 2010, Tjandra mengatakan pemerintah telah mencanangkan strategi nasional pengendalian TB yang bertujuan untuk memberi akses universal layanan TB berkualitas, untuk menjamin agar semua kasus TB yang ditemukan dapat didiagnosa dan diobati dengan benar.
Salah satu hambatan dalam memerangi TB disebutnya adalah belum semua kasus berhasil ditemukan, terutama di RS swasta dan dokter praktik.
"Saat ini Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia (ID) untuk meningkatkan upaya pelayanan TB sesuai dengan standar internasional pada dokter praktik," ujar Tjandra.
Sementara upaya pengendalian TB yang sudah dicapai antara lain 300 ribu kasus yang terlaporkan setiap tahun, angka kesembuhan meningkat menjadi sekitar 91 persen, dan angka kematian akibat TB sudah jauh menurun yaitu sebesar 27/100.000, dibandingkan dengan data dasar perhitungan target MDG tahun 1990 sebesar 92/100.000.
Kementerian Kesehatan mencatat penurunan insiden TB sebesar 45 persen pada tahun 2010 dibandingkan tahun 1990 atau dari 343 per 100.000 penduduk menjadi 189 per 100.000 penduduk.
Di samping itu, Kemkes juga mencatat penurunan prevalensi TB sebesar 35 persen, yaitu dari 443 per 100.000 penduduk menjadi 289 per 100.000 penduduk.
Tahun 2011, Indonesia telah mencapai angka penemuan kasus 82.69 persen dan melampaui target global sebesar 70 persen, sedangkan angka keberhasilan pengobatan juga mencapai 90,29 persen dan melampaui target RPJMN sebesar 86 persen.
Tjandra mengungkapkan permasalahan lain yang muncul dalam eliminasi TB adalah munculnya kasus resistensi obat lini pertama, meskipun jumlahnya masih sangat sedikit.
"WHO Global Report melaporkan tingkat resistensi yang masih cukup rendah di antara kasus baru sekitar 2 persen dan kasus re-treatment 17 persen, yang hasilnya hampir sama dengan survei resistensi obat yang dilaksanakan Kemenkes di Jawa Tengah (2007) dan Jawa Timur (2009)," kata Tjandra.
Kasus TB yang tidak diobati dengan baik sesuai dengan standar mulai diagnosis, pengobatan, kepatuhan dan ketuntasan pengobatan serta terlaporkan agar bisa dipantau kesembuhannya, dikatakan Tjandra merupakan pemicu terjadinya TB-MDR (multidrugs resistence).
Pengobatan untuk TB-MDR di Indonesia saat ini dibantu oleh dana dari Global Fund, meskipun secara bertahap pemerintah Indonesia diharapkan dapat menggunakan dana APBN, karena Global Fund secara berangsur-berangsur mengurangi jumlah bantuan itu.
Tjandra mengatakan, untuk mencegah terjadinya TB-MDR, pemerintah melakukan upaya dalam tiga hal, yaitu peningkatan akses universal untuk layanan TB berkualitas, meningkatkan deteksi suspek TB-MDR sedini mungkin, dan melaksanakan pengobatan yang tepat untuk memutus mata rantai kuman resisten dan meningkatkan kegiatan pengawasan untuk memantau kecenderungan peningkatan epidemi TB-MDR.
Pemerintah saat ini menyediakan sarana pemeriksaan dan pengobatan TB di seluruh Indonesia, baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit, dan seluruh biaya pengobatan TB di fasilitas pelayanan kesehatan Pemerintah dijamin oleh Pemerintah atau digratiskan.
Data hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menempatkan TB di urutan pertama penyakit menular penyebab kematian, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
TB termasuk penyakit infeksi menular dengan transmisi melalui udara dan menyerang penderita yang umumnya berada pada golongan usia produktif, sehingga menimbulkan risiko tinggi dan menyebabkan dampak ekonomi yang luas.
Total kasus baru TB dilaporkan sebanyak 450 ribu per tahun dan prevalensi sekitar 690 ribu per tahun, seperti dilaporkan oleh Organisasi PBB untuk Kesehatan Dunia (WHO) dalam "Global Report 2011".
"Sejak tahun 2010 WHO tidak lagi menyebutkan ranking negara, tetapi Indonesia memang masih termasuk 10 besar negara TB dengan beban permasalahan TB terbesar dari total 22 negara dengan beban TB terbesar," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Sejak tahun 2010, Tjandra mengatakan pemerintah telah mencanangkan strategi nasional pengendalian TB yang bertujuan untuk memberi akses universal layanan TB berkualitas, untuk menjamin agar semua kasus TB yang ditemukan dapat didiagnosa dan diobati dengan benar.
Salah satu hambatan dalam memerangi TB disebutnya adalah belum semua kasus berhasil ditemukan, terutama di RS swasta dan dokter praktik.
"Saat ini Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia (ID) untuk meningkatkan upaya pelayanan TB sesuai dengan standar internasional pada dokter praktik," ujar Tjandra.
Sementara upaya pengendalian TB yang sudah dicapai antara lain 300 ribu kasus yang terlaporkan setiap tahun, angka kesembuhan meningkat menjadi sekitar 91 persen, dan angka kematian akibat TB sudah jauh menurun yaitu sebesar 27/100.000, dibandingkan dengan data dasar perhitungan target MDG tahun 1990 sebesar 92/100.000.
Kementerian Kesehatan mencatat penurunan insiden TB sebesar 45 persen pada tahun 2010 dibandingkan tahun 1990 atau dari 343 per 100.000 penduduk menjadi 189 per 100.000 penduduk.
Di samping itu, Kemkes juga mencatat penurunan prevalensi TB sebesar 35 persen, yaitu dari 443 per 100.000 penduduk menjadi 289 per 100.000 penduduk.
Tahun 2011, Indonesia telah mencapai angka penemuan kasus 82.69 persen dan melampaui target global sebesar 70 persen, sedangkan angka keberhasilan pengobatan juga mencapai 90,29 persen dan melampaui target RPJMN sebesar 86 persen.
Tjandra mengungkapkan permasalahan lain yang muncul dalam eliminasi TB adalah munculnya kasus resistensi obat lini pertama, meskipun jumlahnya masih sangat sedikit.
"WHO Global Report melaporkan tingkat resistensi yang masih cukup rendah di antara kasus baru sekitar 2 persen dan kasus re-treatment 17 persen, yang hasilnya hampir sama dengan survei resistensi obat yang dilaksanakan Kemenkes di Jawa Tengah (2007) dan Jawa Timur (2009)," kata Tjandra.
Kasus TB yang tidak diobati dengan baik sesuai dengan standar mulai diagnosis, pengobatan, kepatuhan dan ketuntasan pengobatan serta terlaporkan agar bisa dipantau kesembuhannya, dikatakan Tjandra merupakan pemicu terjadinya TB-MDR (multidrugs resistence).
Pengobatan untuk TB-MDR di Indonesia saat ini dibantu oleh dana dari Global Fund, meskipun secara bertahap pemerintah Indonesia diharapkan dapat menggunakan dana APBN, karena Global Fund secara berangsur-berangsur mengurangi jumlah bantuan itu.
Tjandra mengatakan, untuk mencegah terjadinya TB-MDR, pemerintah melakukan upaya dalam tiga hal, yaitu peningkatan akses universal untuk layanan TB berkualitas, meningkatkan deteksi suspek TB-MDR sedini mungkin, dan melaksanakan pengobatan yang tepat untuk memutus mata rantai kuman resisten dan meningkatkan kegiatan pengawasan untuk memantau kecenderungan peningkatan epidemi TB-MDR.
Pemerintah saat ini menyediakan sarana pemeriksaan dan pengobatan TB di seluruh Indonesia, baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit, dan seluruh biaya pengobatan TB di fasilitas pelayanan kesehatan Pemerintah dijamin oleh Pemerintah atau digratiskan.
Data hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menempatkan TB di urutan pertama penyakit menular penyebab kematian, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
TB termasuk penyakit infeksi menular dengan transmisi melalui udara dan menyerang penderita yang umumnya berada pada golongan usia produktif, sehingga menimbulkan risiko tinggi dan menyebabkan dampak ekonomi yang luas.
0 komentar:
Post a Comment