Pacaran, Perlukah ?

Dulu pacaran dianggap tabu oleh masyarakat. Pasangan remaja lawan jenis yang kedapatan berdua-duaan dianggap aib Tapi Masyarakat masa kini sudah tak lagi peduli dengan urusan pergaulan lawan jenis.
Masa remaja Memang masa paling indah dalam perjalanan hidup anak manusia. Banyak hal terjadi dalam masa transisi diri menuju kedewasaan ini.
Saat Ini ribuan remaja telah mempercayai pacaran sebagai Sebuah tradisi. Remaja tidak pacaran, berarti kuper (kurang pergaulan). Begitu anggapan mereka.
Biasanya, awal masa pacaran terjadi ketika remaja masuk dalam tahap pubertas. Atau ketika remaja mengalami perkembangan fisik diawali terjadinya menstruasi bagi anak perempuan atau mimpi basah pada anak laki-laki. Tapi tak sedikit anak-anak “bau kencur” yang belum puber pun ikut-ikutan tradisi pacaran.
Secara bahasa, kata “pacaran” sejauh ini belum terdefinisikan secara baku. Karena motif dan bentuk pacaran yang marak di masyarakat bermacam-macam. Dosen Psikologi Remaja Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Zarina Akbar M.Psi, berpendapat bahwa pacaran adalah suatu hubungan yang di dalamnya terdapat sebuah komitmen dan proses saling mengenal.

Kamus Bahasa Kontemporer karya Peter Salim dan Yenny Salim, membatasi pacaran sebagai sikap intimewa kepada lawan jenis yang tetap disertai rasa kasih. Sayangnya, saat ini dalam pergaulan masyarakat justru banyak berkembang pacaran malah yang tanpa tujuan, apalagi pasangan tetap. Marak terjadi HTS, atau hubungan tanpa status, komitmen, maupun tujuan positif melangkah ke jenjang pernikahan yang disyariatkan.
Zarina miris melihat ironi pacaran remaja Indonesia masa kini. Bangsa yang dulu dikenal dengan nuansa ketimurannya, kata Zarina, kini telah berputar haluan ke arah budaya Barat yang didominasi hal-hal kurang relevan dengan budaya asli bangsa ini. “Pacaran pada remaja saat ini bukan sebatas tren, tapi budaya,” ungkap Zarina.
Banyak motif seorang remaja berpacaran, umumnya ada dua faktor yang banyak mendorong mereka berpacaran, yaitu internal dan ekstrenal. Faktor internal berasal dari dorongan diri remaja itu sendiri, dan faktor eksternal dipengaruhi oleh teman-temannya. Faktor terakhir paling banyak mempengaruhi remaja untuk melakukan pacaran.
Magister psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menilai, secara psikologis, tren pacaran remaja masa kini sudah menjurus ke arah budaya permisif yang sangat berbahaya. Pasangan yang berpacaran bukan hanya ingin “mengenal” kepribadian pasangannya, tapi harus mengenal “luar-dalam” fisik masing-masing. Ibarat membeli sepatu, tak hanya bagian luar yang harus dirasakan, bagian dalamnya juga harus “dicoba”.
Apa penyebabnya Menurut Zarina faktor keterbukaan media yang tidak disikapi bijaksana, internalisasi budaya luar, ditambah kian lemahnya kontrol masyarakat membuat tren negatif ini kian tak terbendung.
Zarina mencontohkan, zaman dulu pacaran dianggap tabu oleh masyarakat. Pasangan remaja lawan jenis yang kedapatan berdua-duaan dianggap aib oleh masyarakat. Beda dengan masyarakat pada masa kini yang sudah tak lagi peduli dengan apapun yang terjadi dalam pergaulan lawan jenis.
Agama dan Budaya
Bablasnya sikap negatif perilaku pacaran remaja masa kini, menghasilkan banyak kasus hamil di luar nikah, Seks Bebas, aborsi, penyebaran penyakit kelamin, dan sebagainya. Berdasarkan data yang dihimpun Dinkes, lebih dari 2,5 juta kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dan 20% dari jumlah menjerat remaja.
Menurut Zarina, dari sekian banyak kasus seperti ini, pihak yang paling dirugikan adalah remaja perempuan yang memiliki pola pikir cenderung pendek. Remaja perempuan jarang berpikir untuk jangka panjang atau masa depan (futuristik). Ketika melakukan sesuatu, dampak dan konsekuensi yang harus ditanggung di kemudian hari pun alpa untuk dipikirkan.
Untuk mengatasainya, imbuh Zarina, ada beberapa catatan solusi yang patut dilakukan: Pertama, memperkuat pendidikan agama yang bersifat pengenalan nilai-nilai. Bukan hanya materi, tapi penjelasan nilai-nilai agama dan membiasakannya dalam kehidupan remaja. Di samping itu, bimbingan dan arahan dari orang terdekat kaum remaja juga sangat diperlukan.
Kedua, pendidikan budaya. Harus kembali diwawaskan bahwa bangsa Indonesia berbudaya kental dengan ketimuran, dan bertolak belakang dengan budaya Barat. Hal ini sudah saatnya kembali fokus diajarkan kepada kaum remaja, karena saat ini generasi penerus ini cenderung sudah semakin tidak mengenal jati diri budaya meraka sendiri karena gerusan modernitas.
Ketiga, memberi penyuluhan atau pendidikan tentang dunia seksual, tapi bukan menjelaskan tentang cara dan pola hubungan seksual yang aman. Para remaja harus lebih diberi penjelasan dampak negatif dari hubungan seksual.
Menurut Alfikalia M.si, dosen ilmu Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, perasaan suka, cinta, dan kasih yang biasanya mengawali sebuah hubungan atau pacaran, merupakan sifat alamiah yang kerap muncul pada diri manusia, termasuk remaja. Karena semua orang adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, termasuk dengan lawan jenis, dalam hidupnya.
Para remaja membutuhkan perhatian lebih dari orang lain, dan sedang melalui masa pencarian sesuatu yang baru untuk dirinya, termasuk dari lawan jenis. Yang perlu dilakukan terhadap remaja adalah mengarahkan interaksi yang terjadi antar remaja sesuai koridor agama.
Interaksi antar remaja akan berdampak positif jika bisa dijadikan sebagai ajang fastabiqul-khairĂ¢t (berlomba-lomba dalam kebaikan). Seperti untuk meraih hasil positif dalam belajar. “Hubungan antar remaja tak boleh keluar dari ruang lingkup syariah dan budaya bangsa ini,” pungkasnya.

0 komentar:

Post a Comment