Cinta itu sakral. Memiliki kekuatan maha dahsyat. Ia bisa menembus
dinding kokoh di luar batas kemampuan manusia. Sesuatu yang tidak
mungkin bisa menjadi mungkin. Salah satu kesakralan cinta itu, ia tidak
pernah memandang kasta. Garisan cinta itu sudah ditentukan yang maha
kuasa. Kerena cinta itu memiliki kekuatan, maka dua hati dengan latar
belakang budaya dan karakter yang beragam bisa menyatu. Sekali lagi,
karena energi cinta.
Energi cinta dengan voltase tinggi itu terlihat dari kisah cinta Adelfo dan Abbey dalam novel ini. Balutan cinta-kasih dua anak manusia ini mengingatkan otak terhadap sejumlah kisah cinta tokoh dunia. Seperti cinta Nabi Adam As. dan Siti Hawa, Nabi Yusuf As. dengan Siti Zulaikha, Nabi Sulaiman As dengan Ratu Balqis, BJ Habibi dan Ainun, Hayati dan Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijk dan kisah romantis lainnya.
Kisah cinta, dalam sejarahnya memiliki catatan tersendiri. Cinta yang mengharu biru tersebut disertai dengan catatan pilu, suka dan duka. Para pelaku cinta-kasih tersebut menjalaninya dengan lapang dada. Tidak ada keluh. Karena, hambatan dalam menggapai posisi cinta itu harus dilalui dengan perjuangan panjang. Dari sekia catatan itu, terkadag cinta menarik-ulur sampai menuju lorong kematian. Detik-detik menegangkan, hanya untuk sebuah cinta.
Adelfo dan Abbey, dalam novel setebal 243 halaman ini sebentuk manuskrip perjalanan cinta dengan sejuta hambatan. Sebab, pada mulanya mereka tidak pernah bercita-cita, rasa yang ada di hati akan menjadi gelora cinta. Rasa itu, pada diri Adelfo dan Abbey hanya sebatas pertemanan. Rasa yang hinggap, hanya karena kedekatan mereka sebagai sesama teman, sahabat dalam satu sekolah. Namun, lagi-lagi kesakralan cinta bisa mengubah segalanya. Rasa pertemanan itu mengajak mereka mengikatnya sebagai sepasang kekasih. Apakah Adelfo dan Abbey bisa lancar membangun ikatan cintanya?
Perjalanan cinta kedua remaja ini tidak sedatar yang kita bayangkan. Seorang Adelfo, yang masih berdarah biru sulit ditembus rasa cinta Abbey, keturunan orang biasa. Meski hati mereka menyatakan tiada perbedaan dalam membagun cinta kasih, namun kodrat budaya sulit dimentahkan begitu saja. Abbey menyadari kondisi dirinya. Sehingga, saat pertama kali Adelfo menyatakan rasa cintanya, Abbey menolak. Penolakan itu bukan berarti dia tidak sayang Adelfo. Tetapi, karena cinta yang ada dalam diri Abbey sudah mendarah daging. Cinta adalah berkorban. Abbey rela mengorbannya perasaannya demi dan untuk menjaga citra sanga Pengeran, Adelfo.
Ditolak oleh orang yang dicintai, Adelfo tidak kalut. Dia menyadari, penolakan itu adalah bagian dari cintanya. Dia menahan diri. Sampai akhirnya, ketinggian menara Eifell kota Paris Prancis menjadi saksi penting ikata cintanya. Di kota itulah, saat kedua sejoli ini sama-sama melanjutkan pendidikan bisa lebih memahami perbedaan yang dimiliki. Abbey menolak karena merasa cinta kepada Adelfo. Dan Adelfo bersikukuh mendapatkan hati kekasihnya, karena cinta tak pernah memandag kasta (garis keturunan).
Perjuangan kuat dan panjang Adelfo dan Abbey ini berbuah manis. Adelfo bisa mendapatkan cinta kekasihnya. Demikian sebaliknya, Abbey merasa nyaman dengan kehadiran Adelfo dalam hidupnya. Gayung bersambut, mereka bisa menikmati keindahan kota Paris dengan perasaan cinta sepasang kekasih. Namun, apakah cinta mereka akan mencapai klimaks?
Buku ini (sangat) enak dibaca. Setidaknya, kisah imajinatif dalam novel ini menjadi pembelajaran berharga bagi semua masyarakat tentang pentingnya hubungan baik antarsesama dan pendidikan. Kandungan amanat dalam karya ini sarat dengan muatan moral dan pendidikan. Dengan mengambil alur percintaan, namun penulis berhasil memasukkan motivasi akademis. Hal itu terlihat dari energi semangat kedua tokoh sentral yang mengejar mimpi pendidikannya hingga ke negeri Paris Prancis.
Judul: Au-Dessus De La Tour Eiffel
Penulis: Gingger Else Shelley
Tebal: 243 hlm
Penerbit: DIVA Perss
Terbitan: Januari 2013
Energi cinta dengan voltase tinggi itu terlihat dari kisah cinta Adelfo dan Abbey dalam novel ini. Balutan cinta-kasih dua anak manusia ini mengingatkan otak terhadap sejumlah kisah cinta tokoh dunia. Seperti cinta Nabi Adam As. dan Siti Hawa, Nabi Yusuf As. dengan Siti Zulaikha, Nabi Sulaiman As dengan Ratu Balqis, BJ Habibi dan Ainun, Hayati dan Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijk dan kisah romantis lainnya.
Kisah cinta, dalam sejarahnya memiliki catatan tersendiri. Cinta yang mengharu biru tersebut disertai dengan catatan pilu, suka dan duka. Para pelaku cinta-kasih tersebut menjalaninya dengan lapang dada. Tidak ada keluh. Karena, hambatan dalam menggapai posisi cinta itu harus dilalui dengan perjuangan panjang. Dari sekia catatan itu, terkadag cinta menarik-ulur sampai menuju lorong kematian. Detik-detik menegangkan, hanya untuk sebuah cinta.
Adelfo dan Abbey, dalam novel setebal 243 halaman ini sebentuk manuskrip perjalanan cinta dengan sejuta hambatan. Sebab, pada mulanya mereka tidak pernah bercita-cita, rasa yang ada di hati akan menjadi gelora cinta. Rasa itu, pada diri Adelfo dan Abbey hanya sebatas pertemanan. Rasa yang hinggap, hanya karena kedekatan mereka sebagai sesama teman, sahabat dalam satu sekolah. Namun, lagi-lagi kesakralan cinta bisa mengubah segalanya. Rasa pertemanan itu mengajak mereka mengikatnya sebagai sepasang kekasih. Apakah Adelfo dan Abbey bisa lancar membangun ikatan cintanya?
Perjalanan cinta kedua remaja ini tidak sedatar yang kita bayangkan. Seorang Adelfo, yang masih berdarah biru sulit ditembus rasa cinta Abbey, keturunan orang biasa. Meski hati mereka menyatakan tiada perbedaan dalam membagun cinta kasih, namun kodrat budaya sulit dimentahkan begitu saja. Abbey menyadari kondisi dirinya. Sehingga, saat pertama kali Adelfo menyatakan rasa cintanya, Abbey menolak. Penolakan itu bukan berarti dia tidak sayang Adelfo. Tetapi, karena cinta yang ada dalam diri Abbey sudah mendarah daging. Cinta adalah berkorban. Abbey rela mengorbannya perasaannya demi dan untuk menjaga citra sanga Pengeran, Adelfo.
Ditolak oleh orang yang dicintai, Adelfo tidak kalut. Dia menyadari, penolakan itu adalah bagian dari cintanya. Dia menahan diri. Sampai akhirnya, ketinggian menara Eifell kota Paris Prancis menjadi saksi penting ikata cintanya. Di kota itulah, saat kedua sejoli ini sama-sama melanjutkan pendidikan bisa lebih memahami perbedaan yang dimiliki. Abbey menolak karena merasa cinta kepada Adelfo. Dan Adelfo bersikukuh mendapatkan hati kekasihnya, karena cinta tak pernah memandag kasta (garis keturunan).
Perjuangan kuat dan panjang Adelfo dan Abbey ini berbuah manis. Adelfo bisa mendapatkan cinta kekasihnya. Demikian sebaliknya, Abbey merasa nyaman dengan kehadiran Adelfo dalam hidupnya. Gayung bersambut, mereka bisa menikmati keindahan kota Paris dengan perasaan cinta sepasang kekasih. Namun, apakah cinta mereka akan mencapai klimaks?
Buku ini (sangat) enak dibaca. Setidaknya, kisah imajinatif dalam novel ini menjadi pembelajaran berharga bagi semua masyarakat tentang pentingnya hubungan baik antarsesama dan pendidikan. Kandungan amanat dalam karya ini sarat dengan muatan moral dan pendidikan. Dengan mengambil alur percintaan, namun penulis berhasil memasukkan motivasi akademis. Hal itu terlihat dari energi semangat kedua tokoh sentral yang mengejar mimpi pendidikannya hingga ke negeri Paris Prancis.
Judul: Au-Dessus De La Tour Eiffel
Penulis: Gingger Else Shelley
Tebal: 243 hlm
Penerbit: DIVA Perss
Terbitan: Januari 2013
0 komentar:
Post a Comment