Pertama: Konteks situasi terjadinya
Kita
kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya
Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah
SAW dalam situasi yang sangat "galau", seolah tiada celah harapan masa
depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta
Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan
meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays
terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan
pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada
jelas.
Dalam sitausi
seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan
dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaei",
demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang
merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah
perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk
"berjalan-jalan" menelusuri napak tilas "perjuangan" para
pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung
kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah
"penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir.
Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan"
jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah
menuju ke depan.
Kedua: Pensucian Hati
Disebutkan
bahwa sebelum di bawa oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah
dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati
Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah
Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai
penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang
"ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari
pensucian hatinya?
Rasulullah
adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai,
tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan
yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya.
"Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang
betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya.
Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang
seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga
menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau
petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya sebagai "nurani", itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya
ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh
gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat
gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya
(taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan,
diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh
kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan
bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang
kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar
Ketika
ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas
yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan.
Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah
menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat
inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang
tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan
bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan
perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di
hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik
dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian.
Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman,
akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak
yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak
senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan
memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam
hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang
samar. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera
kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat).
Keempat: Imam Shalat Berjama'ah
Shalat
adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan
simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah
terkumpul berbagai hikmah dan makna. Shalat menjadi simbol ketaatan
total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi
tujuan hidupnya.
Maka
ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak
tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka
sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang
ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat
besar pada masanya. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul,
menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela
hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan
"leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan
dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam
segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan
antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai
orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta
berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan
meraih keberuntungan". Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad
telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin
umat lainnya.
Kelima: Kembali ke Bumi dengan Shalat
Perjalanan
singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera
pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar
bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di
suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan
mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab
duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam
itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan
amanah perjuangan yang masih harus diembannya.
Inilah
sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan
membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan
karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah
kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya.
"Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak),
pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya"
dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat
5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian
perjalanan suci ke atas (Mi'raj).
0 komentar:
Post a Comment